Sabtu, Juni 04, 2016

Pustakawan dan Arsiparis, Profesi atau Pekerjaan?

Perkembangan zaman dan teknologi belum tentu searah dengan perkembangan paradigma masyarakat terhadap sesuatu. Teknologi yang selalu digadang-gadangkan perkembangannya memungkinkan masyarakat dapat mengetahui apapun dengan sangat cepat. Perkembangan teknologi pulalah yang akhirnya memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menciptakan informasi sehingga munculnya isu ledakan informasi. Namun, perkembangan zaman dan teknologi tidak dapat menjamin pemahaman masyarakat yang lebih baik terhadap sesuatu.
Ledakan informasi telah menjadi isu yang pelik dibahas. Ledakan informasi ini bahkan tidak dapat dihambat oleh siapa pun. Dalam situasi ini, beberapa peran penting hadir untuk mencoba menanggulangi. Upaya dalam menghadapi ledakan informasi salah satunya adalah memberikan kontrol terhadap informasi yang tersebar dalam berbagai media. Arsiparis diperuntuk untuk mempunyai fungsi, tugas, dan tanggung jawab melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan arsip. Seluruh kegiatan yang berkenaan dengan arsip ini bertujuan untuk menjamin tercipta, ketersediaan, keselamatan arsip itu sendiri. Hal ini dilakukan agar arsip sebagai bukti sah dan autentik dalam pertanggungjawaban suatu kegiatan.[1] Arsip merupakan bukti sejarah dimana nilai autentik suatu sejarah dapat diukur dengan arsip ataupun warkat yang mengikutinya. Hal ini sejalan dengan prase “No Archive, No History. Dalam hal ini arsip adalah sumber data primer dalam sebuah pembuktian sejarah.[2]
Arsiparis berperan dalam melindungi sejarah yang mengikuti sebuah arsip, berbeda dengan pustakawan. Pustakawan berperan dalam memastikan masyarakat tepat dalam menerima haknya yaitu memperoleh layanan dan dapat memanfaatkan serta mendayagunakan fasilitas yang disediakan.[3] Dengan isu ledakan informasi tersebut, pustakawan berperan dalam mengelola informasi. Informasi dikelola dengan aturan baku kepustakawanan yang disesuaikan berdasarkan penerima jasa yang bersifat heterogen, sehingga perpustakaan diharapkan dapat menjawab setiap pertanyaan pemustaka yang muncul.
Faktanya, paradigma masyarakat yang negatif agaknya sangat menganggu prestise kedua profesi ini. Arsiparis dinilai tidak memiliki gaung dalam profesi yang dilakoninya. Tidak hanya arsiparis sebagai profesi, masyarakat cenderung tidak memahami apa yang dikatakan arsip sehingga kepedulian masyarakat terhadap arsip sangat rendah termasuk arsip yang berkaitan dengan masing-masing individu. Sebagaimana dikatakan oleh Mariansyah pada acara Interaktif Kominfo dua tahun lalu di Samarinda “Kecenderungan masyarakat kurang paham bahwa kartu-kartu itu merupakan arsip pribadi. Dengan meningkatkan kesadaran terhadap arsip paling tidak diharapkan meningkatkan kualitas pengelolaan arsip pribadi dan keluarga”.[4] Begitu juga dengan pustakawan, anggapan masyarakat terhadap profesi ini agaknya tak jauh berbeda dengan arsiparis. Anggapan berupa pustakawan adalah orang yang kolot, tidak ramah, sinis, dan hanya bertugas sebagai penjaga buku.
Anggapan-anggapan masyarakat tentu tidak sesuai dengan arsiparis dan pustakawan sebagai arsip. Anggapan ini tentu memiliki sebab sehingga paradigma masyarakat terus berkembang. Apakah arsiparis dan pustakawan yang masih kurang dalam aktualisasi diri? Ataukah masyarakat masih belum dapat membedakan arsiparis dan pustakawan sebagai pekerjaan atau profesi? Atau arsiparis dan pustakawan yang masih belum dapat membedakan antara dua istilah tersebut?

[1] Dituangkan dalam Undang-Undang 43 tahun 2009 Tentang Kearsipan. Diakses dalam http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_43.pdf pada pukul 31 Mei 2016 pukul 09.00
[2] Bambang P. Widodo, Akuisisi Arsip, (Banten: Universitas Terbuka, 2014), 2.16
[3] Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 pasal 5. Diakses dalam http://bit.ly/27ZJFyh pada 31 Mei 2016pukul 10.02
[4] Olive, Penting, Galakan Masyarakat Sadar Arsip. Diakses pada http://bit.ly/1WVCB1M pada 31 Mei 2016 pukul 11.10.