Perkembangan zaman dan teknologi belum tentu searah dengan perkembangan
paradigma masyarakat terhadap sesuatu. Teknologi yang selalu digadang-gadangkan
perkembangannya memungkinkan masyarakat dapat mengetahui apapun dengan sangat
cepat. Perkembangan teknologi pulalah yang akhirnya memberikan ruang yang
seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menciptakan informasi sehingga munculnya
isu ledakan informasi. Namun, perkembangan zaman dan teknologi tidak dapat
menjamin pemahaman masyarakat yang lebih baik terhadap sesuatu.
Ledakan informasi telah menjadi isu yang pelik dibahas. Ledakan
informasi ini bahkan tidak dapat dihambat oleh siapa pun. Dalam situasi ini,
beberapa peran penting hadir untuk mencoba menanggulangi. Upaya dalam
menghadapi ledakan informasi salah satunya adalah memberikan kontrol terhadap
informasi yang tersebar dalam berbagai media. Arsiparis diperuntuk untuk
mempunyai fungsi, tugas, dan tanggung jawab melaksanakan kegiatan yang
berkenaan dengan arsip. Seluruh kegiatan yang berkenaan dengan arsip ini
bertujuan untuk menjamin tercipta, ketersediaan, keselamatan arsip itu sendiri.
Hal ini dilakukan agar arsip sebagai bukti sah dan autentik dalam
pertanggungjawaban suatu kegiatan.[1]
Arsip merupakan bukti sejarah dimana nilai autentik suatu sejarah dapat diukur
dengan arsip ataupun warkat yang mengikutinya. Hal ini sejalan dengan prase “No
Archive, No History. Dalam hal ini arsip adalah sumber data primer dalam
sebuah pembuktian sejarah.[2]
Arsiparis berperan dalam melindungi sejarah yang mengikuti sebuah arsip,
berbeda dengan pustakawan. Pustakawan berperan dalam memastikan masyarakat tepat
dalam menerima haknya yaitu memperoleh layanan dan dapat memanfaatkan serta
mendayagunakan fasilitas yang disediakan.[3]
Dengan isu ledakan informasi tersebut, pustakawan berperan dalam mengelola
informasi. Informasi dikelola dengan aturan baku kepustakawanan yang
disesuaikan berdasarkan penerima jasa yang bersifat heterogen, sehingga
perpustakaan diharapkan dapat menjawab setiap pertanyaan pemustaka yang muncul.
Faktanya, paradigma masyarakat yang negatif agaknya sangat menganggu
prestise kedua profesi ini. Arsiparis dinilai tidak memiliki gaung dalam
profesi yang dilakoninya. Tidak hanya arsiparis sebagai profesi, masyarakat
cenderung tidak memahami apa yang dikatakan arsip sehingga kepedulian
masyarakat terhadap arsip sangat rendah termasuk arsip yang berkaitan dengan
masing-masing individu. Sebagaimana dikatakan oleh Mariansyah pada acara
Interaktif Kominfo dua tahun lalu di Samarinda “Kecenderungan masyarakat kurang
paham bahwa kartu-kartu itu merupakan arsip pribadi. Dengan meningkatkan kesadaran
terhadap arsip paling tidak diharapkan meningkatkan kualitas pengelolaan arsip
pribadi dan keluarga”.[4]
Begitu juga dengan pustakawan, anggapan masyarakat terhadap profesi ini agaknya
tak jauh berbeda dengan arsiparis. Anggapan berupa pustakawan adalah orang yang
kolot, tidak ramah, sinis, dan hanya bertugas sebagai penjaga buku.
Anggapan-anggapan
masyarakat tentu tidak sesuai dengan arsiparis dan pustakawan sebagai arsip.
Anggapan ini tentu memiliki sebab sehingga paradigma masyarakat terus
berkembang. Apakah arsiparis dan pustakawan yang masih kurang dalam aktualisasi
diri? Ataukah masyarakat masih belum dapat membedakan arsiparis dan pustakawan
sebagai pekerjaan atau profesi? Atau arsiparis dan pustakawan yang masih belum
dapat membedakan antara dua istilah tersebut?
[1] Dituangkan dalam Undang-Undang 43 tahun 2009 Tentang Kearsipan. Diakses
dalam http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_43.pdf pada pukul 31 Mei
2016 pukul 09.00
[3] Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 pasal 5.
Diakses dalam http://bit.ly/27ZJFyh pada
31 Mei 2016pukul 10.02
[4] Olive, Penting, Galakan Masyarakat Sadar
Arsip. Diakses pada http://bit.ly/1WVCB1M pada 31 Mei 2016 pukul 11.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar