Rabu, April 06, 2016

Misi Besar Perpustakaan

Jika mendengar kata perpustakaan, yang ada dalam benak kita adalah ruangan atau gedung yang berisi banyak buku yang tersusun di rak dan dapat dipinjam. Perpustakaan sejatinya memang sebuah tempat; tapi bukan sembarangan tempat. Di sinilah tempat hasil karya, cipta, dan upaya keras para intelektual untuk generasi berprestasi.
Ada elemen penting yang ada di dalam perpustakaan. Sebutlah buku, atau yang diistilahkan juga bahan pustaka. Sama halnya dengan benda lainnya, buku juga membutuhkan pemeliharaan dan pelestarian. Tujuan awal dari pelestarian bahan pustaka dan arsip adalah melestarikan kandungan informasi bahan pustaka dan arsip agar semua koleksi itu bisa bertahan lama dalam keadaan baik walaupun telah sangat usang.
Pelestarian ini dapat dilakukan dengan pemeliharaan fisik sebagaimana aslinya atau pengalihan bentuk ke media lain. Tujuannya tentu saja agar bahan pustaka dapat digunakan dan dimanfaatkan lebih lama. Inilah tugas dari pustakawan, sebagaimana disebut seorang pakar kepustakawanan, Prof Sulistyo-Basuki. Ini bukanlah tugas yang mudah. Dari dulu hingga sekarang, selalu saja ditemukan ‘musuh` dari bahan pustaka, yaitu manusia itu sendiri. Terutama untuk Indonesia yang beriklim tropis, musuh bahan pustaka juga datang dari hewan (misalnya rayap, tikus dan sebagainya), mikro-organisme, cuaca, serta berbagai bencana alam.
Preservasi dan konservasi pada dasarnya adalah pemeliharaan bentuk fisik. Akan tetapi, perlu disadari, bahwa ada sesuatu hal yang lebih besar di belakang sana. Bukan hanya pemeliharaan fisik, konservasi dan prefervasi bahan pustaka menjaga kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual itulah yang menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.
Dengan memelihara kekayaan intelektual, maka seorang pustakawan telah menjaga peradaban, kebudayaan, bahkan perekonomian. Mari kita ambil satu contoh perpustakaan yang pernah dikenal dalam peradaban Islam di Baghdad, Baitul Hikmah. Sejarah mencatat bahwa Baitul Hikmah telah menjalankan fungsi universitas; membantu pengembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting. Dari aktifitas tersebut, Baitul Hikmah menyimpan sejarah, baik dalam dirinya sendiri, maupun dalam apa yang dimilikinya (koleksi buku-bukunya).
Koleksi-koleksi Baitul Hikmah, termasuk koleksi terjemahan yang tersimpan di dalamnya, telah mengalami tahap pemeliharaan khusus. Saat ini, semua itu menjadi bukti sejarah bagi perkembangan peradaban Islam. Dengan kata lain, peradaban Islam tersebut terpelihara dalam bentuk fisik di perpustakaan Baitul Hikmah.
Pemeliharaan bentuk fisik tersebut berarti kebudayaan Islam masih bisa dipelajari dan dilestarikan hingga saat ini. Dengan demikian, apa yang dipelajari oleh generasi saat ini merupakan hasil dari upaya konservasi bahan pustaka yang telah dilakukan oleh pendahulu. Dengan mafhum mukhalafah, karya-karya yang tidak tersimpan dan terjaga saat ini tidak lagi bisa dipelajari. Kebudayaan yang dikandungnya telah musnah.
Dengan demikian, memelihara bahan pustaka tidak sesederhana memelihara bentuk fisik sebuah bundelan buku. Ia memiliki misi yang sangat penting. Diceritakan bahwa Nabi Musa pernah memerintahkan seseorang untuk menyelamatkan buku Pantateuch dengan cara melapis dengan minyak ara kemudian dimasukkan ke dalam periuk tanah.
Dari sini, dapat kita pahami bahwa pemeliharaan bahan pustakan adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab? Apakah si ‘penjaga buku’ atau pustakawan?
Kita semua bertanggung jawab!

artikel juga diterbitkan dalam surauparabek.com . dapat diakses disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar