Kamis, April 07, 2016

Wabah Tekno-Stress di Perpustakaan


Alam takambang manjadi guru. Kalimat itu adalah falsafah hidup yang dipedomani oleh masyarakat Minangkabau. Tulisan ini mungkin saja sangat subjektif karena memang saya berdarah Minang. Namun bukan hal ini yang menjadi fokus saya. Masyarakat Minang memegang erat falsafah hidup tersebut. Itulah mungkin yang menuntun mereka untuk menggapai kesuksesan di tanah rantau.
Ungkapan itu berarti bahwa manusia bisa belajar dari alam. Maksudnya, ilmu bisa didapat dari pengalaman atau dari refleksi terhadap fenomena-fenomena alam yang disaksikan. Seseorang yang mampu mempelajari pengalamannya atau mampu merefleksikan apa yang ia indra di bentangan alam akan mendapatkan sebuah kebijaksanaan untuk menghadapi kehidupan.
Hewan merupakan bagian dari alam. Sebagaimana hukum rimba adalah ‘yang kuat memakan yang lemah’, hewan memiliki kemampuan instingtif untuk mengelabuhi musuh atau predator. Dua diantaranya adalah mimikri dan autotomi. Mimikri adalah pemiripan atau peniruan, baik secara fisik maupun perilaku. Sementara autotomi adalah perilaku memutus ekor pada cicak untuk mengelabui musuhnya. Kedua strategi tersebut adalah untuk bertahan hidup.
Lantas, apa hubungannya dengan dunia kepustakaan?
Disebutkan di awal, bahwa alam takambang manjadi guru. Strategi mimikri dan autotomi setidaknya bisa diambil pelajaran bagi dunia kepustakaan.
Dunia perpustakaan erat kaitannya dengan informasi, teknologi, berikut perkembangannya. Dengan perkembangan teknologi yang tak terbendung beberapa dekade terakhir, maka dunia kepustakaan termasuk ranah yang menghadapi segala tantangan dan menerima segala pengaruh darinya.
Dalam bentuk konvensional, perpustakaan bisa saja dipahami hanya sebagai kumpulan buku yang disusun dan diorganisir sedemikian rupa sehingga dapat ditemukan dengan mudah. Dengan tata kelola seperti itulah buku-buku terjaga dan bisa digunakan secara efektif. Tata kelola ini juga dengan tanpa beban bisa disebut ‘perpustakaan manual’. Hal ini lantaran segala pelayanannya, baik referensi maupun sirkulasi, ditangani secara manual.
***
Telah disebutkan bahwa perkembangan teknologi telah merubah banyak hal, termasuk dunia kepustakaan. Perpustakaan konvensional secara bertahap berubah dan berkembang. Hal ini umpamanya terlihat dalam hukum ilmu perpustakaan yang kelima, yang menyebutkan bahwa “a library is a growing organism”. Bukan hanya itu, Five laws of Library Science ini pun juga didukung dan dikembangkan oleh seorang pakar ilmu perpustakaan, Michael Gorman, dengan mengusung lima hukum baru; Five New Laws of Librarianship. Terkait teknologu, Gorman menyebut “use technology intelligently to enhance service”.
Sebelumnya, seorang pakar lainnya, Shiyali Ramamrita Ranganathan, menyatakan perpustakaan harus menjadi lembaga yang dinamis. Ini berarti perpustakaan mutlak tidak statis. Perpustakaan harus melakukan perkembangan, baik secara sistem, layanan, koleksi, fisik perpustakaan, teknologi dan sebagainya. Sepertinya Gorman seide dengan Ranganathan, makanya ia mengembangkan teorinya. Kedua pakar ini menekankan bahwa sudah selayaknya perpustakaan berkembang diri dengan mengintegrasikan dirinya dengan teknologi baru. Teknologi hendaknya menjadi solusi atas semua masalah dalam meningkatkan efektifitas layanan.
***
Namun, tidak selamanya perkembangan teknologi dapat diterima dan tidak semua orang menerimanya. Sejumlah pustakawan mungkin dengan cepat dapat menyesuaikan dengan gaya hidup digital. Karena itu, mereka dengan cepat bisa mengadaptasi gaya hidup tersebut dalam sistem dan manajemen perpustakaan. Akan tetapi, tidak sedikit pula pustakawan yang gagap. Mereka tidak bisa merekondisi perpustakaan.
Dari tangan-tangan pustakawan jenis pertama, kita telah menyaksikan transformasi perpustakaan ke bentuk yang lebih advance dan technologically-furnished. Ini bisa kita lihat umpamanya di perpustakaan-perpustakaan kampus.
Akan tetapi masalah besar bisa kita lihat, umpamanya, pada perpustakaan di sekolah-sekolah. Pemustaka utamanya adalah anak-anak sekolah. Dunia mereka sudah sangat dekat dengan gadget, tak berbeda dengan para mahasiswa. Ketertarikan mereka juga kuat terhadap gadget. Akan tetapi, pada saat yang sama, pustakawan di sekolah-sekolah tidak mampu mereformasi perpustakaan dengan perkembangan teknologi yang ada. Hasilnya, perpustakaan tidak berhasil menjadi hal yang menarik bagi mereka.
Hal ini merupakan kesenjangan yang terjadi di dunia perpustakaan. Pemustaka selalu berlari mengikuti perkembangan teknologi. Sedangkan pustakawan masih tertatih-tatih untuk memperbaiki dan menyiapkan sistem dan manajemen agar perpustakaan tidak ditinggalkan oleh masyarakat.
Fenomena ini tidak asing di lingkungan kita. Setidaknya, peristiwa ini menggambarkan apa yang diistilahkan oleh seorang pakar, Craig Brod (1984:16) dengan technostress. Ia mendefinisikan istilah ini dengan:
“… a modern disease of adaptation caused by an inability to cope with the new computer technologies in a healthy manner. It manifests itself in two distinct but related ways: in the struggle to accept computer technology, and in the more specialized form of over identification with computer technology.
Di dunia perpustakaan, bentuk technostress beragam, mulai dari pustakawan senior yang pasrah dengan perkembangannya sampai kepada pemustaka yang tidak bisa lepas dengan teknologi. Pustakawan senior merasa bahwa perkembangan teknologi bukanlah bagian dari kesempatan mereka untuk mengembangkan diri. Perkembangan teknologi semata-mata untuk generasi setelahnya sehingga pengembangan sistem perpustakaan pun diserahkan kepada generasi selanjutnya. Padahal, saat ini mereka lah yang berotoritas dan bertanggung jawab untuk mengembangkan perpustakaan.
Dalam perkembangan ini, pustakawan atau lembaga institusi perpustakaan selayaknya merenungi kedua strategi bertahan hidup hewan sebagaimana di atas. Jika mereka tidak melakukan mimikri atau autotomi, mereka akan menjadi santapan empuk predator. Maka, dalam hal ini, jika perpustakaan tidak melakukan hal yang sama, maka perpustakaan akan mati dimakan oleh perkembangan teknologi itu sendiri.


Sumber Bacaan
Aghwotu, Tiemo Pereware. 2010. “Technostress: Causes, symptoms and coping strategies among Librarians in University libraries”  Educational Research (ISSN: 2141-5161) Vol. 1(12) pp. 713-720 December 2010
Furniss, Richard D. 2014. “Technostress Effect on Task Productivity in Radiologic” Proquest LLC.
Gorman, Michael 1995. “Five New Laws of Librarianship”. Diakses pada http://bit.ly/1VCteiy. Pukul 11.53 18 November 2015.
Zulaikha, Sri Rohyanti. 2008. “Kontibusi S.R. Ranganathan dalam Perkembangan Ilmu Perpustakaan Dewasa Ini”.  Diakses pada http://digilib.uin-suka.ac.id/364/ 18 November 2015 05.09

artikel juga di terbitkan di sini

Rabu, April 06, 2016

Misi Besar Perpustakaan

Jika mendengar kata perpustakaan, yang ada dalam benak kita adalah ruangan atau gedung yang berisi banyak buku yang tersusun di rak dan dapat dipinjam. Perpustakaan sejatinya memang sebuah tempat; tapi bukan sembarangan tempat. Di sinilah tempat hasil karya, cipta, dan upaya keras para intelektual untuk generasi berprestasi.
Ada elemen penting yang ada di dalam perpustakaan. Sebutlah buku, atau yang diistilahkan juga bahan pustaka. Sama halnya dengan benda lainnya, buku juga membutuhkan pemeliharaan dan pelestarian. Tujuan awal dari pelestarian bahan pustaka dan arsip adalah melestarikan kandungan informasi bahan pustaka dan arsip agar semua koleksi itu bisa bertahan lama dalam keadaan baik walaupun telah sangat usang.
Pelestarian ini dapat dilakukan dengan pemeliharaan fisik sebagaimana aslinya atau pengalihan bentuk ke media lain. Tujuannya tentu saja agar bahan pustaka dapat digunakan dan dimanfaatkan lebih lama. Inilah tugas dari pustakawan, sebagaimana disebut seorang pakar kepustakawanan, Prof Sulistyo-Basuki. Ini bukanlah tugas yang mudah. Dari dulu hingga sekarang, selalu saja ditemukan ‘musuh` dari bahan pustaka, yaitu manusia itu sendiri. Terutama untuk Indonesia yang beriklim tropis, musuh bahan pustaka juga datang dari hewan (misalnya rayap, tikus dan sebagainya), mikro-organisme, cuaca, serta berbagai bencana alam.
Preservasi dan konservasi pada dasarnya adalah pemeliharaan bentuk fisik. Akan tetapi, perlu disadari, bahwa ada sesuatu hal yang lebih besar di belakang sana. Bukan hanya pemeliharaan fisik, konservasi dan prefervasi bahan pustaka menjaga kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual itulah yang menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.
Dengan memelihara kekayaan intelektual, maka seorang pustakawan telah menjaga peradaban, kebudayaan, bahkan perekonomian. Mari kita ambil satu contoh perpustakaan yang pernah dikenal dalam peradaban Islam di Baghdad, Baitul Hikmah. Sejarah mencatat bahwa Baitul Hikmah telah menjalankan fungsi universitas; membantu pengembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting. Dari aktifitas tersebut, Baitul Hikmah menyimpan sejarah, baik dalam dirinya sendiri, maupun dalam apa yang dimilikinya (koleksi buku-bukunya).
Koleksi-koleksi Baitul Hikmah, termasuk koleksi terjemahan yang tersimpan di dalamnya, telah mengalami tahap pemeliharaan khusus. Saat ini, semua itu menjadi bukti sejarah bagi perkembangan peradaban Islam. Dengan kata lain, peradaban Islam tersebut terpelihara dalam bentuk fisik di perpustakaan Baitul Hikmah.
Pemeliharaan bentuk fisik tersebut berarti kebudayaan Islam masih bisa dipelajari dan dilestarikan hingga saat ini. Dengan demikian, apa yang dipelajari oleh generasi saat ini merupakan hasil dari upaya konservasi bahan pustaka yang telah dilakukan oleh pendahulu. Dengan mafhum mukhalafah, karya-karya yang tidak tersimpan dan terjaga saat ini tidak lagi bisa dipelajari. Kebudayaan yang dikandungnya telah musnah.
Dengan demikian, memelihara bahan pustaka tidak sesederhana memelihara bentuk fisik sebuah bundelan buku. Ia memiliki misi yang sangat penting. Diceritakan bahwa Nabi Musa pernah memerintahkan seseorang untuk menyelamatkan buku Pantateuch dengan cara melapis dengan minyak ara kemudian dimasukkan ke dalam periuk tanah.
Dari sini, dapat kita pahami bahwa pemeliharaan bahan pustakan adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab? Apakah si ‘penjaga buku’ atau pustakawan?
Kita semua bertanggung jawab!

artikel juga diterbitkan dalam surauparabek.com . dapat diakses disini